Sangat berkesan rasanya ketika telah membaca bab perbab dari buku
yang ditulis oleh Fernando Baez dengan judul Penghancuran Buku dari Masa Ke
Masa. Seorang kepala perpustakaan yang begitu fokus mendalami peristiwa mengapa
manusia hampir disetiap rezim melakukan penghancuran buku. Sebuah kesimpulan
yang menarik dan menggugah pemikiran manusia terhadap apa yang pernah tejadi di
setiap negeri di mana pemikir-pemikir
tersohor menjadi terseret ke dalam api bersama karya-karyanya.
Penjabaran yang di mulai dari zaman kuno sampai sekarang, seakan
tindakan bibliosida tak pernah terhenti di dunia ini.
Peristiwa-peristiwa di beberapa abad yang lalu di telesuri oleh Baez dalam
kurun waktu selama 12 tahun membuat dirinya menemukan bahwa “buku-buku dihancurkan
bukan oleh ketidaktahuan awam atau kurangnya pendidikan, melainkan justru oleh
kaum terdidik dengan motif ideologis masing-masing”.
Di mulai dari zaman dunia kuno di Timur Tengah, Mesir, Yunani,
Israel, Cina, Romawi dan tak luput pula perpustakaan Alexandria. Wilayah-wilayah
ini di ceritakan dari awal prosesi berdirinya hingga runtuhnya perpustakaan.
Adapun buku yang hancur di sebabkan oleh perang yang berdarah-darah, peristiwa
alam seperti kebakaran, gempa bumi dan banjir, hingga pemusnahan atau penolakan
ideologi yang bertentangan dengan kerajaan atau rezim-rezim yang mempertahankan
status qou maupun menghalangi pemikiran yang dianggap berbahaya dan sesat.
Selanjutnya dijelaskan pula dari zaman Byzantium hingga abad ke 19,
yang di zaman ini lebih banyak menghancurkan buku yang didasarkan pada
penolakan ideologi atau pemikiran yang kontroversial bagi kalangan penguasa
atau pun membahayakan doktrin agama. Tidak sedikit para pemikir yang tulisan
atau bukunya dianggap kontroversial kemudian di bakar bersama karya-karyanya.
Mengamati sejarah bibliosida yang terjadi di masa lampau itu
di berbagai Negara, hal ini dapat menjelaskan fenomena bibliosida atau
penghancuran buku yang terjadi di Indonesia. Librisida atau pembunuhan terhadap
buku dalam istilah yang digunakan oleh Robertus Robet menjelaskan terdapat
beragam alasan mengapa buku dilarang. Dalam pengantar pada buku ini,
penghancuran buku telah berlangsung dari pra kemerdekaan atau era kolonialisme,
kemudian berlanjut pada era orde lama, dan begitu massif pada orde baru yang
sangat banyak menyita atau melarang buku hingga era setelah tumbangnya orde
baru yaitu reformasi hingga sampai saat ini.
Buku-buku para penulis seperti Mas Marco, Muh Hatta, Pramudya
Ananta Toer, hingga John Roosa tak luput dari pelarangan oleh rezim yang pernah
berkuasa. Pelarangan ini lebih dominan pada alasan politis dan ideologi yang
dianggap mengancam stabilitas bangsa. Sehingga ketika era kolonialisme
buku-buku yang membahayakan kekuasaan pemerintah kolonialisme menjadi barang
yang harus di musnahkan. Demikian pula pada era yang di namakan Demokrasi
Terpimpin, dimana buku-buku yang dianggap kontrarevolusioner atau menghalangi
revolusi di atas kuasa Presiden Soekarno di larang. Selanjutnya justru yang
paling banyak karya yang dikorbankan karena alasan stabilitas dan ketertiban
bangsa yaitu pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Buku-buku yang di cap kiri di berangus atau dibakar sebagai tindakan sistematis
yang bermula dari peristiwa bersejarah Gerakan 30 September yang menandakan
berakhirnya era orde lama. Kebijakan pelarangan di era orde baru di legalkan
dengan keputusan Kejaksaan Agung melalui Peraturan Presiden yang selanjutnya menjadi
Undang-undang No
4 PNPS 1963.
Tidak berhenti, di era yang kita nyatakan era reformasi setelah
tumbangnya rezim orde baru, pelarangan buku kembali terjadi. Banyak Buku-buku
yang dilarang di era keterbukaan informasi dan yang terakhir
seperti Membongkar Gurita Cikeas, Dibalik
Skandal Bank Century (2009) atau Lima
Kota Paling Bepengaruh Di dunia (2012) yang kemudian di cekal beberapa
ormas dan pada akhirnya di bakar dan disaksikan langsung oleh Penerbit buku
tersebut yaitu Gramedia.
Upaya menjelaskan periodesasi rezim pelarangan
buku di Indonesia telah di terbitkan melalui 3 buku yaitu Menentang
Peradaban: Pelarangan Buku di Indonesia (Tim Jaker, ELSAM, 1999), Mengubur
Peradaban: Politik Pelarangan Buku di Indonesia (Fauzan, LKIS, 2002), dan Pelarangan
Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi
(Tim, PR2MEDIA, 2010). Ironinya ketiganya pun ikut dilarang. Meskipun dilarang
buku ELSAM dan PT2MEDIA tetap menerbitkan cetakannya dan juga dapat didownload
di internet secara Cuma-Cuma.
Pelarangan yang terjadi di Indonesia adalah
sebuah kebijakan yang tidak semestinya terjadi lagi di era keterbukaan
informasi saat ini. Sehingga masyarakat lebih dewasa menanggapi hal-hal yang
dianggapnya kontreversial sebab telah di paparkan secara rinci oleh Baez maupun
Robertus Rober bahwa penghancuran buku justru di lakukan oleh kaum terdidik
atau intelektual. Sehingga bagi mereka yang merasa terdidik atau memiliki
intelektual yang lebih seharusnya menyikapinya wacana-wacana yang dianggapnya
kontroversi dengan bijak dengan arti “melawan” pula dengan wacana atau
membuktikan kesalahan-kesalah wacana yang dilakukan oleh penulisnya. Namun
bagaimanapun kehebatan seseorang sekiranya perlu menghargai buah pikiran
seseorang. Toh, pembaca tidaklah pasti langsung terpengaruh dengan bacaan yang
dianggap berbahaya, apalagi pembaca yang mengklaim terlarang adalah masyarakat intelektual.
Harapan dari Robetus Robet dalam paragraph
terakhir pada pengantar buku ini dengan seirus mengatakan bahwa “suatu
masyarakat demokratis yang sehat, terdidik-apalagi dengan embel-embel
Pancasilais dan religious-mestinya bisa lebih santai dan percaya diri dalam
menghadapi dan berdialog dengan setiap gagasan. Pada akhirnya makna kemerdekaan
di Indonesia harus berlaku pada karya intelektual seperti buku dan juga
perpustakaan.
Penulis Irsan
Penghancuran Buku
dari Masa ke Masa
Fernando Báez
Penerjemah: Lita Soerjadinata
Pengantar: Robertus Robet
ISBN 978-979-1260-24-4
373 + xx hlm.; 14 x 20,3 cm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar