Sabtu, 02 November 2013

DI BALIK PENGHANCURAN BUKU


Sangat berkesan rasanya ketika telah membaca bab perbab dari buku yang ditulis oleh Fernando Baez dengan judul Penghancuran Buku dari Masa Ke Masa. Seorang kepala perpustakaan yang begitu fokus mendalami peristiwa mengapa manusia hampir disetiap rezim melakukan penghancuran buku. Sebuah kesimpulan yang menarik dan menggugah pemikiran manusia terhadap apa yang pernah tejadi di setiap negeri di mana  pemikir-pemikir tersohor menjadi terseret ke dalam api bersama karya-karyanya.
Penjabaran yang di mulai dari zaman kuno sampai sekarang, seakan tindakan bibliosida tak pernah terhenti di dunia ini. Peristiwa-peristiwa di beberapa abad yang lalu di telesuri oleh Baez dalam kurun waktu selama 12 tahun membuat dirinya menemukan bahwa “buku-buku dihancurkan bukan oleh ketidaktahuan awam atau kurangnya pendidikan, melainkan justru oleh kaum terdidik dengan motif ideologis masing-masing”.
Di mulai dari zaman dunia kuno di Timur Tengah, Mesir, Yunani, Israel, Cina, Romawi dan tak luput pula perpustakaan Alexandria. Wilayah-wilayah ini di ceritakan dari awal prosesi berdirinya hingga runtuhnya perpustakaan. Adapun buku yang hancur di sebabkan oleh perang yang berdarah-darah, peristiwa alam seperti kebakaran, gempa bumi dan banjir, hingga pemusnahan atau penolakan ideologi yang bertentangan dengan kerajaan atau rezim-rezim yang mempertahankan status qou maupun menghalangi pemikiran yang dianggap berbahaya dan sesat.   
Selanjutnya dijelaskan pula dari zaman Byzantium hingga abad ke 19, yang di zaman ini lebih banyak menghancurkan buku yang didasarkan pada penolakan ideologi atau pemikiran yang kontroversial bagi kalangan penguasa atau pun membahayakan doktrin agama. Tidak sedikit para pemikir yang tulisan atau bukunya dianggap kontroversial kemudian di bakar bersama karya-karyanya.
Mengamati sejarah bibliosida yang terjadi di masa lampau itu di berbagai Negara, hal ini dapat menjelaskan fenomena bibliosida atau penghancuran buku yang terjadi di Indonesia. Librisida atau pembunuhan terhadap buku dalam istilah yang digunakan oleh Robertus Robet menjelaskan terdapat beragam alasan mengapa buku dilarang. Dalam pengantar pada buku ini, penghancuran buku telah berlangsung dari pra kemerdekaan atau era kolonialisme, kemudian berlanjut pada era orde lama, dan begitu massif pada orde baru yang sangat banyak menyita atau melarang buku hingga era setelah tumbangnya orde baru yaitu reformasi hingga sampai saat ini. 
Buku-buku para penulis seperti Mas Marco, Muh Hatta, Pramudya Ananta Toer, hingga John Roosa tak luput dari pelarangan oleh rezim yang pernah berkuasa. Pelarangan ini lebih dominan pada alasan politis dan ideologi yang dianggap mengancam stabilitas bangsa. Sehingga ketika era kolonialisme buku-buku yang membahayakan kekuasaan pemerintah kolonialisme menjadi barang yang harus di musnahkan. Demikian pula pada era yang di namakan Demokrasi Terpimpin, dimana buku-buku yang dianggap kontrarevolusioner atau menghalangi revolusi di atas kuasa Presiden Soekarno di larang. Selanjutnya justru yang paling banyak karya yang dikorbankan karena alasan stabilitas dan ketertiban bangsa yaitu pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Buku-buku yang di cap kiri di berangus atau dibakar sebagai tindakan sistematis yang bermula dari peristiwa bersejarah Gerakan 30 September yang menandakan berakhirnya era orde lama. Kebijakan pelarangan di era orde baru di legalkan dengan keputusan Kejaksaan Agung melalui Peraturan Presiden yang selanjutnya menjadi Undang-undang No 4 PNPS 1963.
Tidak berhenti, di era yang kita nyatakan era reformasi setelah tumbangnya rezim orde baru, pelarangan buku kembali terjadi. Banyak Buku-buku yang dilarang di era keterbukaan informasi dan yang terakhir seperti Membongkar Gurita Cikeas, Dibalik Skandal Bank Century (2009) atau Lima Kota Paling Bepengaruh Di dunia (2012) yang kemudian di cekal beberapa ormas dan pada akhirnya di bakar dan disaksikan langsung oleh Penerbit buku tersebut yaitu Gramedia.
Upaya menjelaskan periodesasi rezim pelarangan buku di Indonesia telah di terbitkan melalui 3 buku yaitu Menentang Peradaban: Pelarangan Buku di Indonesia (Tim Jaker, ELSAM, 1999), Mengubur Peradaban: Politik Pelarangan Buku di Indonesia (Fauzan, LKIS, 2002), dan Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi (Tim, PR2MEDIA, 2010). Ironinya ketiganya pun ikut dilarang. Meskipun dilarang buku ELSAM dan PT2MEDIA tetap menerbitkan cetakannya dan juga dapat didownload di internet secara Cuma-Cuma.
Pelarangan yang terjadi di Indonesia adalah sebuah kebijakan yang tidak semestinya terjadi lagi di era keterbukaan informasi saat ini. Sehingga masyarakat lebih dewasa menanggapi hal-hal yang dianggapnya kontreversial sebab telah di paparkan secara rinci oleh Baez maupun Robertus Rober bahwa penghancuran buku justru di lakukan oleh kaum terdidik atau intelektual. Sehingga bagi mereka yang merasa terdidik atau memiliki intelektual yang lebih seharusnya menyikapinya wacana-wacana yang dianggapnya kontroversi dengan bijak dengan arti “melawan” pula dengan wacana atau membuktikan kesalahan-kesalah wacana yang dilakukan oleh penulisnya. Namun bagaimanapun kehebatan seseorang sekiranya perlu menghargai buah pikiran seseorang. Toh, pembaca tidaklah pasti langsung terpengaruh dengan bacaan yang dianggap berbahaya, apalagi pembaca yang mengklaim terlarang adalah masyarakat intelektual.
Harapan dari Robetus Robet dalam paragraph terakhir pada pengantar buku ini dengan seirus mengatakan bahwa “suatu masyarakat demokratis yang sehat, terdidik-apalagi dengan embel-embel Pancasilais dan religious-mestinya bisa lebih santai dan percaya diri dalam menghadapi dan berdialog dengan setiap gagasan. Pada akhirnya makna kemerdekaan di Indonesia harus berlaku pada karya intelektual seperti buku dan juga perpustakaan.   
Penulis Irsan

Penghancuran Buku dari Masa ke Masa
Fernando Báez
Penerjemah: Lita Soerjadinata
Pengantar: Robertus Robet
ISBN 978-979-1260-24-4
373 + xx hlm.; 14 x 20,3 cm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar