Selasa, 26 November 2013

Buku-Buku Kiri dan Pelaranganya Di Orde Baru



Pelarangan buku-buku kiri yang paling menyita perhatian adalah pada masa orde baru dalam sejarah pemerintahan Indonesia, sejarah mencatat bahwa era orde barulah yang paling banyak melarang buku-buku kiri. Dimulai setelah peristiwa Gerakan 30 September, dimana tiga bulan setelah peritiwa tersebut terjadi, Pembantu Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Bidang Teknis Pendidikan, Drs. K. Setiadi Kartohadikusumo, menyatakan 70 judul buku dianggap terlarang, pada saat itu tepat pada 30 November 1965. Praktis dengan adanya pelarangan tersebut, selanjutnya semua karya 87 penulis yang dituduh beraliran kiri juga ikut dilarang.[1]
Agak aneh karena pelarangan buku dilakukan bukan karena isinya yang mengandung informasi yang dinilai tak layak untuk dibaca akan tetapi karena alasan yang politis yang memojokkan penulis, editor, dan penerbit. Bukan hanya itu, keputusan dimusnahkannya karya 21 penulis di ruang Perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sangat memprihatinkan. Tidak diketahui berapa secara pasti buku yang dianggap terlarang namun diperkirakan sekitar 500 judul buku yang dicap terlarang dimasa itu.[2]
          Istilah buku-buku kiri merupakan istilah umum yang digunakan untuk menyebut buku-buku yang memuat atau membahas pemikiran yang termasuk dalam spektrum ideologi Marxisme dan atau Sosialisme, mulai dari kutub ortodoks hingga populis kiri. Bila ditelusur sejarahnya, istilah pertama yang digunakan untuk menyebut buku-buku tersebut ialah  literatuur socialistisch. Buku-buku tersebut, pada era kolonialisme Belanda, diberi label sebagai bacaan liar.[3]       

Pada Kongres IV tahun 1924 di Batavia, PKI mendirikan Kommisi Batjaan Hoofdebestuur PKI. Bentukan ini berhasil menerbitkan dan menyebarluaskan tulisan-tulisan literatuur socialistisch, orang yang pertama kali memperkenalkan istilah tersebut ialah Semaoen yang juga menjelaskan istilah tersebut sebagai sebuah ilmu yang mengajarkan tentang pergaulan hidup tanpa memeras satu sama lain.[4]

          Di masa Orde Baru, pelarangan buku mengambil bentuk yang sistematis akibat tersedianya argumen ideologis dan keperluan mempertahankan sebuah versi “kebenaran” politis. Orde Baru dan kekuasaan Soeharto berdiri di atas sebuah misteri tragedi pembunuhan massal terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI. Kenyataan ini menjadi landasan bagi kebijakan pelarangan terhadap hampir seluruh buku-buku dari mereka yang diasosiakan kiri.[5]

Robertus Robet menggunakan istilah untuk ‘pembunuhan terhadap buku’ yaitu librisida. Istilah librisida diterjemahkan Robertus Robet dari konsep Libricide yang bersumber dari Rebbeca Knuth. Di dalam Knuth, librisida menunjukkan adanya suatu praktik yang sistematis dari suatu rezim terhadap buku yang dilakukan dengan maksud pencapaian suatu tujuan-tujuan ideologi jangka pendek maupun jangka panjang.

Librisida juga mengindikasikan adanya kelompok di dalam masyarakat yang hendak mendominasi negara dan memiliki gagasan ekstrim mengenai masyarakat. [6]
Insiden pelarangan dan pemusnahan terhadap buku-buku kiri yang dilakukan oleh rezim orde baru menandakan adanya dugaan sendiri dari penulis, seperti apa yang ditelah digambarkan oleh Robertus Robet diatas, bahwa “pembunuhan terhadap buku” terdapat alasan politis yang hendak mendominasi kekuasaan dan menolak gagasan kiri karena dianggap sebagai pemikiran yang membahayakan masyarakat.
Buku-Buku Kiri pada rezim orde baru dianggap sebagai penganggu atau ancaman stabilitas nasional karena mengajarkan ajaran Marxisme, Sosialisme, Komunisme yang ketiga wacana tersebut sangat dilarang dan dijadikan sebagai sesuatu yang haram untuk diikuti. Lahirnya ketiga ajaran tersebut tidak lepas dari Filsuf asal Jerman yang sangat dikenal yaitu Karl Marx yang kemudian pemikirannya menjadi sebuah ideologi yang diistilahkan Marxisme. Selama masa rezim Orde Baru wacana tentang kiri (atau kekiri-kirian) di stigmakan sebagai sebuah ideologi yang menakutkan sehingga terjadi tekanan politik yang dialami oleh para pemikir-pemikir kiri.
Sehingga bisa diperkirakan sangat jarang ditemukan buku-buku kiri pada saat itu, apalagi perjualbelikan secara bebas. Penulis pun menduga bahwa adanya pelarangan peredaran buku-buku kiri pada era orde baru, tentu perpustakaan sebagai tempat menyimpan, mengoleksi dan melayani buku juga dilarang oleh rezim orde baru dalam memfasilitasi buku-buku kiri kepada pemustaka pada saat itu.
Di perpustakaan perguruan tinggi sendiri, penulis juga  menduga terjadi pembatasan koleksi, dimana perpustakaan perguruan tinggi merupakan instansi pemerintahan yang juga mengikuti aturan pemerintah dalam melarang buku-buku tertentu melalui penerapan UU 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang Yang Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Analisa penulis dikuatkan oleh Sulistyo Basuki, bahwa pemilihan buku berarti juga proses menolak buku tertentu. Ada beberapa alasan terjadinya penolakan atau tidak memilih buku untuk dijadikan koleksi suatu perpustakaan, salah satunya ialah karena adanya pelarangan atas suatu buku.[7]  Sulistyo Basuki mencatat, secara umum ada lima sebab mengapa buku dilarang beredar di Indonesia, yakni: 1) alasan politik; 2) alasan agama; 3)  alasan ras; 4) alasan pornografi; dan 5) alasan penerbitan dalam aksara asing.  Fokus penelitian ini, peneliti lebih merujuk pada alasan pertama, yaitu alasan politik dalam melarang buku-buku kiri.[8]
Wahyu Winarmo salah seorang staf redaksi yang bergelut di penerbitan buku kiri yang masih tetap eksis sampai saat ini yaitu Resist Book, dia mengungkapkan bahwa kalau orang memahami kiri itu komunis mungkin akan sedikit yang mau membaca, tapi kiri itu kita pahami sebagai bagian dari gerakan sosial “melawan arus yang selama ini yang dominan”.[9] Salah seorang penulis kiri yang aktif menulis tentang wacana kiri saat ini yaitu Eko Prasetyo yang dalam 10 tahun terakhir ada 30 judul buku yang ditulisnya dan hampir semuanya diterbitkan di Resist Book. Dia mengungkapkan bahwa ideologi kiri tidak akan mati dimakan zaman. Diakui bahwa di era 1990-an gagasan tentang gerakan kiri punya andil dalam membawa Indonesia ke era reformasi. Saat itu gerakan mahasiswa yang menumbangkan era orde baru banyak di ilhami wacana kiri, salah satunya melalui buku-buku kiri yang beredar di Indonesia. 


[1] Iwan Awaluddin dkk, Pelarangan Buku Di Indonesia : Sebuah Paradoks Demokrasi dan   Kebebasan Berekspresi, (Yogyakarta : PR2Media bekerja sama FES, 2010) h.4
[2]    ibid.,
[3]   Ahmad Subhan, Pandangan Selektor Pada Tahun 2005-2006 Di Badan Perpustakaan Daerah
      Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Buku-Buku Kiri: Studi Kasus Buku-Buku Produk
      Penerbit Resist Book, (Yogyakarta : Skripsi Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, 2008 Hlm 16
[4]   Razif, “Bacaan Liar” Budaya Dan Politik Pada Zaman Pergerakan, Edi Cahyono’s Experience (http://
       www.geocities.com/edicahy).2005. Hlm 2
[5] Robertus Robet, Librisida : Pemurnian Masyarakat dan Demokrasi yang Cacat, Disampaikan sebagai draft untuk materi Kuliah Umum mengenai ‘Pelarangan Buku dalam Politik Kebudayaan Indonesia’, Kerjasama Elsam dan Dewan Kesenian Jakarta, Rabu, 17 Maret 2010.
[6] Rebecca Knuth,(2003), Libricide : The Regime-sponsored Destruction of Books  and Libraries in the Twentieth. Westport, Connecticut, London: Preager. Hlm. viii.
[7] Sulistyo Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan (Jakarta: PT Gramedia, 1991), h.426.
[8] ibid h.115
[9]Rizaloni, Rio. “Buku Kiri di Persimpangan Jalan”, Tempo TV Assiacallingjkt, 9 Desember 2012. http://www.youtube.com/watch?v=HDrLWcM6zLk  (5 Januari 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar