terbang melayang
kebumi lain.
Namun Akal pantang
tewas
Asal masyarakat
terus menjamin. (Tan Malaka, Madilog)
Tanggal 19 Februari 1949 adalah hari yang misteri dan tragis buat Ibrahim
Datuk Tan Malaka mengusung revolusi dan kemerdekaan Indonesia. Tepat pada hari
ini 65 tahun yang lalu, Tan Malaka mengakhiri perjuangannya, oleh tembakan yang
menidurkan ia selamanya. Tan Malaka adalah tokoh yang kontroversial dalam
sejarah pemerintahan Indonesia, mulai dari pra kemerdekaan hingga saat ini.
Tetapi namanya masih berkibar dan berkobar oleh manusia-manusia yang setia
dengan ideologinya dan antuasias mengkaji karya-karyanya. Dalam Berbagai
literatur, Tan Malaka dianggap sebagai tokoh gerakan kiri, sebagaimana
dipaparkan oleh Harry A Poeze dalam bukunya Pergulatan Politik Tan Malaka
1925-1945. Ini bisa dilihat ketika ia aktif dalam gerakan kiri yang saat
itu berjuang melepaskan bangsa dari belenggu kapitalisme, imperalisme dan
kolonialisme. Bagi Poeze banyak karangan dan pemikiran Tan Malaka yang
orisinil, berbobot dan brilian.
Setelah tergerusnya PKI sebagai alat perjuangannya karena gagalnya
pemberontakan yang dilakukan PKI pada tahun 1926/1927, melalui visi dan prinsip
politik yang diyakini maka Tan Malaka kemudian mendirikan PARI di Bangkok pada
tahun 1927 sebagai alat perjuangan selanjutnya untuk memerdekan Indonesia 100%.
Dari awal Tan Malaka telah mengisyaratkan agar suatu revolusi di lakukan hanya
mungkin bisa berhasil bila mendapat dukungan massa yang besar dan kuat dalam
mengusir penjajah. Olehnya itu dalam pidato yang disampaikan di Sidang Komintern
1922, ia menentang keputusan organisasi komunis internasional yang memusuhi
gerakan Pan Islamisme yang mereka klaim sebagai bentuk imprealisme baru yang
esensinya berlawanan dengan marxisme/komunisme.
Dengan tegas ia menginginkan PKI harus menggandeng kekuatan lainnya
termasuk kekuatan Islam, namun keputusan Komintern 1922, membawa perpecahan SI
dan orang-orang komunis. Dalam pandangan Tan Malaka sendiri bahwa kekuatan
Islam merupakan alat perjuangan yang harus dirangkul demi melawan penjajah/penindasan,
sebab menurutnya masyarakat asia dan afrika disaat yang bersamaan juga berusaha
merdeka dari kapitalisme dan kolonialisme melalui kekuatan Islamisme. Ia
berupaya mempertautkan kedua belah pihak,namun hal ini tidak berlangsung lama
sebab ia kemudian ditangkap.
Kepergian Tan Malaka yang mengisahkan misteri menitipkan banyak
karya dan ideologi yang “tetap hidup”, ia kemudian diberi gelar pahlawan nasional
oleh presiden Soekarno. Namun ironinya status pahlawan yang disandang sejak
tahun 1963 mendapat tanggapan berbagai kelompok/ormas yang mengatasnamakan anti
Kiri/Komunis-PKI atau sejenisnya. Di era Orde Baru Tan Malaka menjadi tokoh
yang kontroversial dan misterius bahkan tiada dalam mata pelajaran sejarah di
sekolah-sekolah.
Hingga saat ini Tan Malaka
masih dianggap tokoh yang kontroversial. Baru-baru ini, salah satu ormas berlabel
Islam menganggap Tan Malaka adalah Pahlawannya PKI. Pada jumat lalu (7/2/2014) terjadi
pembubaran/pelarangan diskusi buku Tan Malaka, Geakan Kiri, dan Revolusi
Indonesia IV yang menghadirkan penulisnya dari Belanda Harry A Poeze di C20
Library Surabaya. Ormas ini menjaga dengan ketat hingga malam hari demi memastikan
diskusi tidak dilaksanakan. Sementara di Kota Semarang, diskusi dan bedah buku Tan
Malaka, Geakan Kiri, dan Revolusi Indonesia IV yang juga mengundang
penulisnya Harry A Poeze yang akan dilaksanakan di Gerobak Art Kos pada 17
Februari 2014 juga mendapat penolakan dari ormas berlabel pancasila dengan
menyurat ke Polrestabes Semarang, meskipun kemudian dibantah tidak pernah menolak
dan pihaknya hanya ingin mengawasi isi diskusi tersebut. Bahkan ormas yang sama
di diskusi C20 Library Surabaya ikut menyampaikan penolakannya melalui SMS
kebeberapa orang dan polisi. Informasi terakhir (detik.com), diskusi ini
dipindahkan ke kampus FIB UNDIP.
Sungguh memilukan mendengar pelarangan diskusi di era yang di klaim
demokratis. Apa yang pernah dilakukan oleh pemerintah orde baru dalam
membungkam aliran kiri/komunisme mengisyaratkan bahwa luka lama bangsa ini
masih awet. Apakah mereka tidak tahu akan perjuangan Tan Malaka untuk Bangsa
ini ?
Inilah potret demokrasi Indonesia, ormas-ormas dengan mudah melakukan
pelarangan diskusi dengan dalil menciderai agama, membuka luka bangsa,
mengawasi gerakan komunisme/kiri, atau ketertiban dan keamanan serta stabilitas
bangsa. Parahnya pelarangan ini kadang mendapat legitimasi oleh pihak keamanan
atau bahkan pemerintah yang bertindak sebagai penegak hukum dan pelindung
rakyat. Aktivitas ilmiah dan kebebasan berpikir masyarakat ternodai karena
tidak adanya saling menghargai dalam perbedaan ideologi atau pemikiran lainnya.
Sudah seharusnya pelarangan/pembubaran diskusi oleh kelompok/ormas baik yang
berlabel Islam maupun pancasila perlu menghargai perbedaan tersebut, sebab jika
tidak hal ini merupakan perbuatan krimial karena melanggar konstitusi dan
menciderai demokrasi.
Tak terkecuali pula pada penyerangan yang terjadi di acara Intermediate
Training HMI Cabang Pangkep (7/2/2014) oleh sekelompok orang yang membuat
jalannya acara sempat terhenti dan tertunda. Penyerangan ini diduga karena HMI
Cabang Pangkep melakukan aksi penolakan kedatangan artis erotis Trio Macam yang
dianggap kurang pantas untuk ditonton masyarakat Pangkep yang religius pada
perayaan ulang tahun kabupaten Pangkep. Siapapun oknum yang berada dibalik
penyerangan tersebut, telah melanggar hukum meskipun bukan karena acaranya yang
ditentang tapi karena dampak dari aksinya namun juga telah menghentikan
diskusi/materi. Sangatlah lucu jika alasan penyerangan oleh kelompok/oknum
tertentu dikarenakan kritikan melalui demonstrasi. Apalagi menggunakan
kebijakan/kekuasaan dalam membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi
masyarakat. Sungguh pilihan yang dilematis buat oknum dan ormas tertentu,
apakah ingin membebaskan penyanyi erotis tampil atau membebaskan masyarakat berpikir/berpendapat,
bereksperesi dan diskusi.
Tentu saja pendapat yang penulis kemukakan diatas sekedar ingin
mengajak pembaca dan masyarakat Indonesia untuk membuka mata tentang sosok Tan
Malaka sebagai pahlawan nasional dan tokoh yang tak menolak Islamisme maupun
Pancasilais. Disamping menegaskan bahwa pelarangan, penolakan, dan pembubaran diskusi
dan aktivitas ilmiah lainnya merupakan tindakan yang tidak terpuji di era
demokrasi dan melanggar hukum. Apalagi wacana yang dilarang telah banyak
diinternet, lantas apakah mereka ingin membatasinya di era keterbukaan
informasi saat ini ? Mengutip pesan Tan Malaka dalam Naar de Republik
Indonesia, kemerdekaan yang dicita-citakan mesti meliputi berbagai aspek
kehidupan apalagi kebebasan berpikir/berpendapat dan berkespresi.
Irsan, Pustakaman Studio Baca Alauddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar