Senin, 03 Maret 2014

TAN MALAKA DAN PELARANGAN DISKUSI

Sudah dilangit kami melintas
terbang melayang kebumi lain.
Namun Akal pantang tewas
Asal masyarakat terus menjamin. (Tan Malaka, Madilog)

Tanggal 19 Februari 1949 adalah hari yang misteri dan tragis buat Ibrahim Datuk Tan Malaka mengusung revolusi dan kemerdekaan Indonesia. Tepat pada hari ini 65 tahun yang lalu, Tan Malaka mengakhiri perjuangannya, oleh tembakan yang menidurkan ia selamanya. Tan Malaka adalah tokoh yang kontroversial dalam sejarah pemerintahan Indonesia, mulai dari pra kemerdekaan hingga saat ini. Tetapi namanya masih berkibar dan berkobar oleh manusia-manusia yang setia dengan ideologinya dan antuasias mengkaji karya-karyanya. Dalam Berbagai literatur, Tan Malaka dianggap sebagai tokoh gerakan kiri, sebagaimana dipaparkan oleh Harry A Poeze dalam bukunya Pergulatan Politik Tan Malaka 1925-1945. Ini bisa dilihat ketika ia aktif dalam gerakan kiri yang saat itu berjuang melepaskan bangsa dari belenggu kapitalisme, imperalisme dan kolonialisme. Bagi Poeze banyak karangan dan pemikiran Tan Malaka yang orisinil, berbobot dan brilian.
Setelah tergerusnya PKI sebagai alat perjuangannya karena gagalnya pemberontakan yang dilakukan PKI pada tahun 1926/1927, melalui visi dan prinsip politik yang diyakini maka Tan Malaka kemudian mendirikan PARI di Bangkok pada tahun 1927 sebagai alat perjuangan selanjutnya untuk memerdekan Indonesia 100%. Dari awal Tan Malaka telah mengisyaratkan agar suatu revolusi di lakukan hanya mungkin bisa berhasil bila mendapat dukungan massa yang besar dan kuat dalam mengusir penjajah. Olehnya itu dalam pidato yang disampaikan di Sidang Komintern 1922, ia menentang keputusan organisasi komunis internasional yang memusuhi gerakan Pan Islamisme yang mereka klaim sebagai bentuk imprealisme baru yang esensinya berlawanan dengan marxisme/komunisme.
Dengan tegas ia menginginkan PKI harus menggandeng kekuatan lainnya termasuk kekuatan Islam, namun keputusan Komintern 1922, membawa perpecahan SI dan orang-orang komunis. Dalam pandangan Tan Malaka sendiri bahwa kekuatan Islam merupakan alat perjuangan yang harus dirangkul demi melawan penjajah/penindasan, sebab menurutnya masyarakat asia dan afrika disaat yang bersamaan juga berusaha merdeka dari kapitalisme dan kolonialisme melalui kekuatan Islamisme. Ia berupaya mempertautkan kedua belah pihak,namun hal ini tidak berlangsung lama sebab ia kemudian ditangkap.
Kepergian Tan Malaka yang mengisahkan misteri menitipkan banyak karya dan ideologi yang “tetap hidup”, ia kemudian diberi gelar pahlawan nasional oleh presiden Soekarno. Namun ironinya status pahlawan yang disandang sejak tahun 1963 mendapat tanggapan berbagai kelompok/ormas yang mengatasnamakan anti Kiri/Komunis-PKI atau sejenisnya. Di era Orde Baru Tan Malaka menjadi tokoh yang kontroversial dan misterius bahkan tiada dalam mata pelajaran sejarah di sekolah-sekolah.
 Hingga saat ini Tan Malaka masih dianggap tokoh yang kontroversial. Baru-baru ini, salah satu ormas berlabel Islam menganggap Tan Malaka adalah Pahlawannya PKI. Pada jumat lalu (7/2/2014) terjadi pembubaran/pelarangan diskusi buku Tan Malaka, Geakan Kiri, dan Revolusi Indonesia IV yang menghadirkan penulisnya dari Belanda Harry A Poeze di C20 Library Surabaya. Ormas ini menjaga dengan ketat hingga malam hari demi memastikan diskusi tidak dilaksanakan. Sementara di Kota Semarang, diskusi dan bedah buku Tan Malaka, Geakan Kiri, dan Revolusi Indonesia IV yang juga mengundang penulisnya Harry A Poeze yang akan dilaksanakan di Gerobak Art Kos pada 17 Februari 2014 juga mendapat penolakan dari ormas berlabel pancasila dengan menyurat ke Polrestabes Semarang, meskipun kemudian dibantah tidak pernah menolak dan pihaknya hanya ingin mengawasi isi diskusi tersebut. Bahkan ormas yang sama di diskusi C20 Library Surabaya ikut menyampaikan penolakannya melalui SMS kebeberapa orang dan polisi. Informasi terakhir (detik.com), diskusi ini dipindahkan ke kampus FIB UNDIP.
Sungguh memilukan mendengar pelarangan diskusi di era yang di klaim demokratis. Apa yang pernah dilakukan oleh pemerintah orde baru dalam membungkam aliran kiri/komunisme mengisyaratkan bahwa luka lama bangsa ini masih awet. Apakah mereka tidak tahu akan perjuangan Tan Malaka untuk Bangsa ini ?
Inilah potret demokrasi Indonesia, ormas-ormas dengan mudah melakukan pelarangan diskusi dengan dalil menciderai agama, membuka luka bangsa, mengawasi gerakan komunisme/kiri, atau ketertiban dan keamanan serta stabilitas bangsa. Parahnya pelarangan ini kadang mendapat legitimasi oleh pihak keamanan atau bahkan pemerintah yang bertindak sebagai penegak hukum dan pelindung rakyat. Aktivitas ilmiah dan kebebasan berpikir masyarakat ternodai karena tidak adanya saling menghargai dalam perbedaan ideologi atau pemikiran lainnya. Sudah seharusnya pelarangan/pembubaran diskusi oleh kelompok/ormas baik yang berlabel Islam maupun pancasila perlu menghargai perbedaan tersebut, sebab jika tidak hal ini merupakan perbuatan krimial karena melanggar konstitusi dan menciderai demokrasi.
Tak terkecuali pula pada penyerangan yang terjadi di acara Intermediate Training HMI Cabang Pangkep (7/2/2014) oleh sekelompok orang yang membuat jalannya acara sempat terhenti dan tertunda. Penyerangan ini diduga karena HMI Cabang Pangkep melakukan aksi penolakan kedatangan artis erotis Trio Macam yang dianggap kurang pantas untuk ditonton masyarakat Pangkep yang religius pada perayaan ulang tahun kabupaten Pangkep. Siapapun oknum yang berada dibalik penyerangan tersebut, telah melanggar hukum meskipun bukan karena acaranya yang ditentang tapi karena dampak dari aksinya namun juga telah menghentikan diskusi/materi. Sangatlah lucu jika alasan penyerangan oleh kelompok/oknum tertentu dikarenakan kritikan melalui demonstrasi. Apalagi menggunakan kebijakan/kekuasaan dalam membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat. Sungguh pilihan yang dilematis buat oknum dan ormas tertentu, apakah ingin membebaskan penyanyi erotis tampil atau membebaskan masyarakat berpikir/berpendapat, bereksperesi dan diskusi.
Tentu saja pendapat yang penulis kemukakan diatas sekedar ingin mengajak pembaca dan masyarakat Indonesia untuk membuka mata tentang sosok Tan Malaka sebagai pahlawan nasional dan tokoh yang tak menolak Islamisme maupun Pancasilais. Disamping menegaskan bahwa pelarangan, penolakan, dan pembubaran diskusi dan aktivitas ilmiah lainnya merupakan tindakan yang tidak terpuji di era demokrasi dan melanggar hukum. Apalagi wacana yang dilarang telah banyak diinternet, lantas apakah mereka ingin membatasinya di era keterbukaan informasi saat ini ? Mengutip pesan Tan Malaka dalam Naar de Republik Indonesia, kemerdekaan yang dicita-citakan mesti meliputi berbagai aspek kehidupan apalagi kebebasan berpikir/berpendapat dan berkespresi.  

Irsan, Pustakaman Studio Baca Alauddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar