Senin, 10 Maret 2014

MELIRIK MAKASSAR DI ANJUNGAN PANTAI LOSARI

Hampir disetiap hari apalagi menjelang petang Anjungan Pantai Losari banyak dikunjungi warga setempat maupun dari luar Makassar. Dengan Bermodalkan kamera atau alat pemotret, pengunjung dengan berbagai style menikmati hunting foto atau yang paling ditunggu ialah sunset. Memang beberapa bulan terakhir Anjungan Pantai Losari semakin terlihat ramai sebab sekarang telah semakin luas dengan berbagai hiasan menarik seperti tulisan, becak, paraga, phinisi, dan patung tokoh ataupun pejuang lokal dari tanah Makassar.

Namun hiasan tersebut kini mulai rusak oleh tangan yang tak menghargai karya orang lain, yang paling tidak mengenakkan pula banyaknya sampah yang berserakan di sekitarnya terutama sampah yang tergenang. Kurangnya kesadaran sebagian masyarakat akan kebersihan lokasi tersebut juga menanadakan bahwa Anjungan Pantai Losari belum dijadikan sebagai sesuatu yang perlu dijaga dan dirawat sebagai ikon Kota Makassar. Selain itu petugas keamanan dan kebersihan harusnya perlu menyadari tanggungjawabnya dalam menjaga Anjungan Pantai Losari. Sehingga penghargaan adipura diperoleh oleh Pemkot Makassar beberapa bulan yang lalu seakan menjadi tidak bernilai bagi mereka yang sepertinya apatis dan tidak peduli. Penghargaan Adipura tahun ini rencananya akan di buatkan tugu Adipura di Anjungan Losari yang nantinya disandingkan dengan tugu adipura yang ada di jalan tello-perintis yang katanya selama ini sering menjadi biang kemacetan. Semoga saja tugu adipura yang dipindahkan itu, tidak memindahkan kemacetan di Losari.
Di samping itu, Anjungan Pantai Losari menjadi tempat mengais rejeki oleh para pedagang kaki lima (PKL), pengamen yang menghibur dan pengemis yang begitu mencolok. Namun terkadang pengunjung merasa terganggu oleh pengamen tertentu yang secara kasar dan terkesan memaksa untuk di beri duit.   
Anjungan Pantai Losari telah menggambarkan sejarah melalui patung tokoh, raja dan pahlawan. Anjungan Pantai Losari telah menunjukkan kearifan lokal melalui paraga, phinisi dan becak. Yang menarik juga adalah dengan adanya sebuah mesjid yang menjadi simbol kebesaran Islam di Makassar. Ikon atau simbol itulah sebenarnya bukan hanya sekedar pencitraan dan penghormatan, tetapi hendaknya dijadikan renungan atas sebuah perjuangan masa lampau dan kearifan lokal yang semestinya dijadikan sebagai relasi abstrak yang berkesinambungan pada kondisi saat ini.
Ketika bersama seorang kawan sempat terlontar kepadanya pertanyaan “apalagi yang menarik di buat di sekitar Anjungan Pantai Losari ini ?” Tanyaku. Lantas kawan itu menjawab dengan semangat yaitu Perpustakaan. Meskipun perpustakaan Umum Makassar tidak jauh dari Losari namun lokasinya masih agak kurang strategis. Jika perlu dibuatkan lagi perpustakaan atau Taman Bacaan Masyarakat sebagai bukti pula bahwa Pemkot Makassar punya program unggulan seperti Gerakan Makassar Gemar Membaca. Apalagi katanya program GMGM telah menjadi percontohan beberapa daerah bahkan luar negeri sebagai program pemerintah yang dinilai dapat mencerdaskan masyarakat. Setidak-tidaknya dijadikan motivasi untuk mewujudkan program itu. 
Anjungan Losari dengan berbagai pagelaran kegiatan baik event seni dan budaya maupun kampanye politik telah menjadikan Losari sebagai simbol perkembangan Makassar. Selanjutnya melalui losari kita bisa melihat budaya orang Bugis-Makassar bahkan sampai pada karakter orang Bugis-Makassar. Memang kita sepakat bahwa losari bukanlah tempat untuk menilai secara universal budaya dan karakter Bugis-Makassar tetapi setidaknya Losari lah yang menjadi tempat untuk melihat dan menjelaskannya. Bahkan dengan simbol tulisan Makassar Of City, Bugis, Makassar, dan Toraja sekiranya telah menyampaikan pesan bahwa Losari adalah cermin kecil kehidupan Makassar. Sudah seharusnya sebagai warga Makassar kita perlu menjaga dan merawat anjungan Pantai Losari agar tetap nyaman, aman, asri, dan bersih. Karena losari  adalah Makassar beserta seluruh warganya dan bukan milik pribadi ataupun desainer ikon tersebut. Seperti pula dengan ikon-ikon Makassar lainnya. Akhirnya marilah kita merenungi apa yang dikatakan oleh Pierce bahwa Ikon adalah tanda yang memiliki kemiripan/similaritas dengan objeknya. 
IRSAN (Pustakaman Studio Baca)

Tulisan ini pernah terbit di opini Tribun Timur http://makassar.tribunnews.com/2013/08/28/melirik-makassar-di-anjungan-pantai-losari

Senin, 03 Maret 2014

TAN MALAKA DAN PELARANGAN DISKUSI

Sudah dilangit kami melintas
terbang melayang kebumi lain.
Namun Akal pantang tewas
Asal masyarakat terus menjamin. (Tan Malaka, Madilog)

Tanggal 19 Februari 1949 adalah hari yang misteri dan tragis buat Ibrahim Datuk Tan Malaka mengusung revolusi dan kemerdekaan Indonesia. Tepat pada hari ini 65 tahun yang lalu, Tan Malaka mengakhiri perjuangannya, oleh tembakan yang menidurkan ia selamanya. Tan Malaka adalah tokoh yang kontroversial dalam sejarah pemerintahan Indonesia, mulai dari pra kemerdekaan hingga saat ini. Tetapi namanya masih berkibar dan berkobar oleh manusia-manusia yang setia dengan ideologinya dan antuasias mengkaji karya-karyanya. Dalam Berbagai literatur, Tan Malaka dianggap sebagai tokoh gerakan kiri, sebagaimana dipaparkan oleh Harry A Poeze dalam bukunya Pergulatan Politik Tan Malaka 1925-1945. Ini bisa dilihat ketika ia aktif dalam gerakan kiri yang saat itu berjuang melepaskan bangsa dari belenggu kapitalisme, imperalisme dan kolonialisme. Bagi Poeze banyak karangan dan pemikiran Tan Malaka yang orisinil, berbobot dan brilian.
Setelah tergerusnya PKI sebagai alat perjuangannya karena gagalnya pemberontakan yang dilakukan PKI pada tahun 1926/1927, melalui visi dan prinsip politik yang diyakini maka Tan Malaka kemudian mendirikan PARI di Bangkok pada tahun 1927 sebagai alat perjuangan selanjutnya untuk memerdekan Indonesia 100%. Dari awal Tan Malaka telah mengisyaratkan agar suatu revolusi di lakukan hanya mungkin bisa berhasil bila mendapat dukungan massa yang besar dan kuat dalam mengusir penjajah. Olehnya itu dalam pidato yang disampaikan di Sidang Komintern 1922, ia menentang keputusan organisasi komunis internasional yang memusuhi gerakan Pan Islamisme yang mereka klaim sebagai bentuk imprealisme baru yang esensinya berlawanan dengan marxisme/komunisme.
Dengan tegas ia menginginkan PKI harus menggandeng kekuatan lainnya termasuk kekuatan Islam, namun keputusan Komintern 1922, membawa perpecahan SI dan orang-orang komunis. Dalam pandangan Tan Malaka sendiri bahwa kekuatan Islam merupakan alat perjuangan yang harus dirangkul demi melawan penjajah/penindasan, sebab menurutnya masyarakat asia dan afrika disaat yang bersamaan juga berusaha merdeka dari kapitalisme dan kolonialisme melalui kekuatan Islamisme. Ia berupaya mempertautkan kedua belah pihak,namun hal ini tidak berlangsung lama sebab ia kemudian ditangkap.
Kepergian Tan Malaka yang mengisahkan misteri menitipkan banyak karya dan ideologi yang “tetap hidup”, ia kemudian diberi gelar pahlawan nasional oleh presiden Soekarno. Namun ironinya status pahlawan yang disandang sejak tahun 1963 mendapat tanggapan berbagai kelompok/ormas yang mengatasnamakan anti Kiri/Komunis-PKI atau sejenisnya. Di era Orde Baru Tan Malaka menjadi tokoh yang kontroversial dan misterius bahkan tiada dalam mata pelajaran sejarah di sekolah-sekolah.
 Hingga saat ini Tan Malaka masih dianggap tokoh yang kontroversial. Baru-baru ini, salah satu ormas berlabel Islam menganggap Tan Malaka adalah Pahlawannya PKI. Pada jumat lalu (7/2/2014) terjadi pembubaran/pelarangan diskusi buku Tan Malaka, Geakan Kiri, dan Revolusi Indonesia IV yang menghadirkan penulisnya dari Belanda Harry A Poeze di C20 Library Surabaya. Ormas ini menjaga dengan ketat hingga malam hari demi memastikan diskusi tidak dilaksanakan. Sementara di Kota Semarang, diskusi dan bedah buku Tan Malaka, Geakan Kiri, dan Revolusi Indonesia IV yang juga mengundang penulisnya Harry A Poeze yang akan dilaksanakan di Gerobak Art Kos pada 17 Februari 2014 juga mendapat penolakan dari ormas berlabel pancasila dengan menyurat ke Polrestabes Semarang, meskipun kemudian dibantah tidak pernah menolak dan pihaknya hanya ingin mengawasi isi diskusi tersebut. Bahkan ormas yang sama di diskusi C20 Library Surabaya ikut menyampaikan penolakannya melalui SMS kebeberapa orang dan polisi. Informasi terakhir (detik.com), diskusi ini dipindahkan ke kampus FIB UNDIP.
Sungguh memilukan mendengar pelarangan diskusi di era yang di klaim demokratis. Apa yang pernah dilakukan oleh pemerintah orde baru dalam membungkam aliran kiri/komunisme mengisyaratkan bahwa luka lama bangsa ini masih awet. Apakah mereka tidak tahu akan perjuangan Tan Malaka untuk Bangsa ini ?
Inilah potret demokrasi Indonesia, ormas-ormas dengan mudah melakukan pelarangan diskusi dengan dalil menciderai agama, membuka luka bangsa, mengawasi gerakan komunisme/kiri, atau ketertiban dan keamanan serta stabilitas bangsa. Parahnya pelarangan ini kadang mendapat legitimasi oleh pihak keamanan atau bahkan pemerintah yang bertindak sebagai penegak hukum dan pelindung rakyat. Aktivitas ilmiah dan kebebasan berpikir masyarakat ternodai karena tidak adanya saling menghargai dalam perbedaan ideologi atau pemikiran lainnya. Sudah seharusnya pelarangan/pembubaran diskusi oleh kelompok/ormas baik yang berlabel Islam maupun pancasila perlu menghargai perbedaan tersebut, sebab jika tidak hal ini merupakan perbuatan krimial karena melanggar konstitusi dan menciderai demokrasi.
Tak terkecuali pula pada penyerangan yang terjadi di acara Intermediate Training HMI Cabang Pangkep (7/2/2014) oleh sekelompok orang yang membuat jalannya acara sempat terhenti dan tertunda. Penyerangan ini diduga karena HMI Cabang Pangkep melakukan aksi penolakan kedatangan artis erotis Trio Macam yang dianggap kurang pantas untuk ditonton masyarakat Pangkep yang religius pada perayaan ulang tahun kabupaten Pangkep. Siapapun oknum yang berada dibalik penyerangan tersebut, telah melanggar hukum meskipun bukan karena acaranya yang ditentang tapi karena dampak dari aksinya namun juga telah menghentikan diskusi/materi. Sangatlah lucu jika alasan penyerangan oleh kelompok/oknum tertentu dikarenakan kritikan melalui demonstrasi. Apalagi menggunakan kebijakan/kekuasaan dalam membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat. Sungguh pilihan yang dilematis buat oknum dan ormas tertentu, apakah ingin membebaskan penyanyi erotis tampil atau membebaskan masyarakat berpikir/berpendapat, bereksperesi dan diskusi.
Tentu saja pendapat yang penulis kemukakan diatas sekedar ingin mengajak pembaca dan masyarakat Indonesia untuk membuka mata tentang sosok Tan Malaka sebagai pahlawan nasional dan tokoh yang tak menolak Islamisme maupun Pancasilais. Disamping menegaskan bahwa pelarangan, penolakan, dan pembubaran diskusi dan aktivitas ilmiah lainnya merupakan tindakan yang tidak terpuji di era demokrasi dan melanggar hukum. Apalagi wacana yang dilarang telah banyak diinternet, lantas apakah mereka ingin membatasinya di era keterbukaan informasi saat ini ? Mengutip pesan Tan Malaka dalam Naar de Republik Indonesia, kemerdekaan yang dicita-citakan mesti meliputi berbagai aspek kehidupan apalagi kebebasan berpikir/berpendapat dan berkespresi.  

Irsan, Pustakaman Studio Baca Alauddin

Selasa, 26 November 2013

Buku-Buku Kiri dan Pelaranganya Di Orde Baru



Pelarangan buku-buku kiri yang paling menyita perhatian adalah pada masa orde baru dalam sejarah pemerintahan Indonesia, sejarah mencatat bahwa era orde barulah yang paling banyak melarang buku-buku kiri. Dimulai setelah peristiwa Gerakan 30 September, dimana tiga bulan setelah peritiwa tersebut terjadi, Pembantu Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Bidang Teknis Pendidikan, Drs. K. Setiadi Kartohadikusumo, menyatakan 70 judul buku dianggap terlarang, pada saat itu tepat pada 30 November 1965. Praktis dengan adanya pelarangan tersebut, selanjutnya semua karya 87 penulis yang dituduh beraliran kiri juga ikut dilarang.[1]
Agak aneh karena pelarangan buku dilakukan bukan karena isinya yang mengandung informasi yang dinilai tak layak untuk dibaca akan tetapi karena alasan yang politis yang memojokkan penulis, editor, dan penerbit. Bukan hanya itu, keputusan dimusnahkannya karya 21 penulis di ruang Perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sangat memprihatinkan. Tidak diketahui berapa secara pasti buku yang dianggap terlarang namun diperkirakan sekitar 500 judul buku yang dicap terlarang dimasa itu.[2]
          Istilah buku-buku kiri merupakan istilah umum yang digunakan untuk menyebut buku-buku yang memuat atau membahas pemikiran yang termasuk dalam spektrum ideologi Marxisme dan atau Sosialisme, mulai dari kutub ortodoks hingga populis kiri. Bila ditelusur sejarahnya, istilah pertama yang digunakan untuk menyebut buku-buku tersebut ialah  literatuur socialistisch. Buku-buku tersebut, pada era kolonialisme Belanda, diberi label sebagai bacaan liar.[3]       

Pada Kongres IV tahun 1924 di Batavia, PKI mendirikan Kommisi Batjaan Hoofdebestuur PKI. Bentukan ini berhasil menerbitkan dan menyebarluaskan tulisan-tulisan literatuur socialistisch, orang yang pertama kali memperkenalkan istilah tersebut ialah Semaoen yang juga menjelaskan istilah tersebut sebagai sebuah ilmu yang mengajarkan tentang pergaulan hidup tanpa memeras satu sama lain.[4]

          Di masa Orde Baru, pelarangan buku mengambil bentuk yang sistematis akibat tersedianya argumen ideologis dan keperluan mempertahankan sebuah versi “kebenaran” politis. Orde Baru dan kekuasaan Soeharto berdiri di atas sebuah misteri tragedi pembunuhan massal terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI. Kenyataan ini menjadi landasan bagi kebijakan pelarangan terhadap hampir seluruh buku-buku dari mereka yang diasosiakan kiri.[5]

Robertus Robet menggunakan istilah untuk ‘pembunuhan terhadap buku’ yaitu librisida. Istilah librisida diterjemahkan Robertus Robet dari konsep Libricide yang bersumber dari Rebbeca Knuth. Di dalam Knuth, librisida menunjukkan adanya suatu praktik yang sistematis dari suatu rezim terhadap buku yang dilakukan dengan maksud pencapaian suatu tujuan-tujuan ideologi jangka pendek maupun jangka panjang.

Librisida juga mengindikasikan adanya kelompok di dalam masyarakat yang hendak mendominasi negara dan memiliki gagasan ekstrim mengenai masyarakat. [6]
Insiden pelarangan dan pemusnahan terhadap buku-buku kiri yang dilakukan oleh rezim orde baru menandakan adanya dugaan sendiri dari penulis, seperti apa yang ditelah digambarkan oleh Robertus Robet diatas, bahwa “pembunuhan terhadap buku” terdapat alasan politis yang hendak mendominasi kekuasaan dan menolak gagasan kiri karena dianggap sebagai pemikiran yang membahayakan masyarakat.
Buku-Buku Kiri pada rezim orde baru dianggap sebagai penganggu atau ancaman stabilitas nasional karena mengajarkan ajaran Marxisme, Sosialisme, Komunisme yang ketiga wacana tersebut sangat dilarang dan dijadikan sebagai sesuatu yang haram untuk diikuti. Lahirnya ketiga ajaran tersebut tidak lepas dari Filsuf asal Jerman yang sangat dikenal yaitu Karl Marx yang kemudian pemikirannya menjadi sebuah ideologi yang diistilahkan Marxisme. Selama masa rezim Orde Baru wacana tentang kiri (atau kekiri-kirian) di stigmakan sebagai sebuah ideologi yang menakutkan sehingga terjadi tekanan politik yang dialami oleh para pemikir-pemikir kiri.
Sehingga bisa diperkirakan sangat jarang ditemukan buku-buku kiri pada saat itu, apalagi perjualbelikan secara bebas. Penulis pun menduga bahwa adanya pelarangan peredaran buku-buku kiri pada era orde baru, tentu perpustakaan sebagai tempat menyimpan, mengoleksi dan melayani buku juga dilarang oleh rezim orde baru dalam memfasilitasi buku-buku kiri kepada pemustaka pada saat itu.
Di perpustakaan perguruan tinggi sendiri, penulis juga  menduga terjadi pembatasan koleksi, dimana perpustakaan perguruan tinggi merupakan instansi pemerintahan yang juga mengikuti aturan pemerintah dalam melarang buku-buku tertentu melalui penerapan UU 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang Yang Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Analisa penulis dikuatkan oleh Sulistyo Basuki, bahwa pemilihan buku berarti juga proses menolak buku tertentu. Ada beberapa alasan terjadinya penolakan atau tidak memilih buku untuk dijadikan koleksi suatu perpustakaan, salah satunya ialah karena adanya pelarangan atas suatu buku.[7]  Sulistyo Basuki mencatat, secara umum ada lima sebab mengapa buku dilarang beredar di Indonesia, yakni: 1) alasan politik; 2) alasan agama; 3)  alasan ras; 4) alasan pornografi; dan 5) alasan penerbitan dalam aksara asing.  Fokus penelitian ini, peneliti lebih merujuk pada alasan pertama, yaitu alasan politik dalam melarang buku-buku kiri.[8]
Wahyu Winarmo salah seorang staf redaksi yang bergelut di penerbitan buku kiri yang masih tetap eksis sampai saat ini yaitu Resist Book, dia mengungkapkan bahwa kalau orang memahami kiri itu komunis mungkin akan sedikit yang mau membaca, tapi kiri itu kita pahami sebagai bagian dari gerakan sosial “melawan arus yang selama ini yang dominan”.[9] Salah seorang penulis kiri yang aktif menulis tentang wacana kiri saat ini yaitu Eko Prasetyo yang dalam 10 tahun terakhir ada 30 judul buku yang ditulisnya dan hampir semuanya diterbitkan di Resist Book. Dia mengungkapkan bahwa ideologi kiri tidak akan mati dimakan zaman. Diakui bahwa di era 1990-an gagasan tentang gerakan kiri punya andil dalam membawa Indonesia ke era reformasi. Saat itu gerakan mahasiswa yang menumbangkan era orde baru banyak di ilhami wacana kiri, salah satunya melalui buku-buku kiri yang beredar di Indonesia. 


[1] Iwan Awaluddin dkk, Pelarangan Buku Di Indonesia : Sebuah Paradoks Demokrasi dan   Kebebasan Berekspresi, (Yogyakarta : PR2Media bekerja sama FES, 2010) h.4
[2]    ibid.,
[3]   Ahmad Subhan, Pandangan Selektor Pada Tahun 2005-2006 Di Badan Perpustakaan Daerah
      Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Buku-Buku Kiri: Studi Kasus Buku-Buku Produk
      Penerbit Resist Book, (Yogyakarta : Skripsi Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, 2008 Hlm 16
[4]   Razif, “Bacaan Liar” Budaya Dan Politik Pada Zaman Pergerakan, Edi Cahyono’s Experience (http://
       www.geocities.com/edicahy).2005. Hlm 2
[5] Robertus Robet, Librisida : Pemurnian Masyarakat dan Demokrasi yang Cacat, Disampaikan sebagai draft untuk materi Kuliah Umum mengenai ‘Pelarangan Buku dalam Politik Kebudayaan Indonesia’, Kerjasama Elsam dan Dewan Kesenian Jakarta, Rabu, 17 Maret 2010.
[6] Rebecca Knuth,(2003), Libricide : The Regime-sponsored Destruction of Books  and Libraries in the Twentieth. Westport, Connecticut, London: Preager. Hlm. viii.
[7] Sulistyo Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan (Jakarta: PT Gramedia, 1991), h.426.
[8] ibid h.115
[9]Rizaloni, Rio. “Buku Kiri di Persimpangan Jalan”, Tempo TV Assiacallingjkt, 9 Desember 2012. http://www.youtube.com/watch?v=HDrLWcM6zLk  (5 Januari 2013)

Sabtu, 02 November 2013

DI BALIK PENGHANCURAN BUKU


Sangat berkesan rasanya ketika telah membaca bab perbab dari buku yang ditulis oleh Fernando Baez dengan judul Penghancuran Buku dari Masa Ke Masa. Seorang kepala perpustakaan yang begitu fokus mendalami peristiwa mengapa manusia hampir disetiap rezim melakukan penghancuran buku. Sebuah kesimpulan yang menarik dan menggugah pemikiran manusia terhadap apa yang pernah tejadi di setiap negeri di mana  pemikir-pemikir tersohor menjadi terseret ke dalam api bersama karya-karyanya.
Penjabaran yang di mulai dari zaman kuno sampai sekarang, seakan tindakan bibliosida tak pernah terhenti di dunia ini. Peristiwa-peristiwa di beberapa abad yang lalu di telesuri oleh Baez dalam kurun waktu selama 12 tahun membuat dirinya menemukan bahwa “buku-buku dihancurkan bukan oleh ketidaktahuan awam atau kurangnya pendidikan, melainkan justru oleh kaum terdidik dengan motif ideologis masing-masing”.
Di mulai dari zaman dunia kuno di Timur Tengah, Mesir, Yunani, Israel, Cina, Romawi dan tak luput pula perpustakaan Alexandria. Wilayah-wilayah ini di ceritakan dari awal prosesi berdirinya hingga runtuhnya perpustakaan. Adapun buku yang hancur di sebabkan oleh perang yang berdarah-darah, peristiwa alam seperti kebakaran, gempa bumi dan banjir, hingga pemusnahan atau penolakan ideologi yang bertentangan dengan kerajaan atau rezim-rezim yang mempertahankan status qou maupun menghalangi pemikiran yang dianggap berbahaya dan sesat.   
Selanjutnya dijelaskan pula dari zaman Byzantium hingga abad ke 19, yang di zaman ini lebih banyak menghancurkan buku yang didasarkan pada penolakan ideologi atau pemikiran yang kontroversial bagi kalangan penguasa atau pun membahayakan doktrin agama. Tidak sedikit para pemikir yang tulisan atau bukunya dianggap kontroversial kemudian di bakar bersama karya-karyanya.
Mengamati sejarah bibliosida yang terjadi di masa lampau itu di berbagai Negara, hal ini dapat menjelaskan fenomena bibliosida atau penghancuran buku yang terjadi di Indonesia. Librisida atau pembunuhan terhadap buku dalam istilah yang digunakan oleh Robertus Robet menjelaskan terdapat beragam alasan mengapa buku dilarang. Dalam pengantar pada buku ini, penghancuran buku telah berlangsung dari pra kemerdekaan atau era kolonialisme, kemudian berlanjut pada era orde lama, dan begitu massif pada orde baru yang sangat banyak menyita atau melarang buku hingga era setelah tumbangnya orde baru yaitu reformasi hingga sampai saat ini. 
Buku-buku para penulis seperti Mas Marco, Muh Hatta, Pramudya Ananta Toer, hingga John Roosa tak luput dari pelarangan oleh rezim yang pernah berkuasa. Pelarangan ini lebih dominan pada alasan politis dan ideologi yang dianggap mengancam stabilitas bangsa. Sehingga ketika era kolonialisme buku-buku yang membahayakan kekuasaan pemerintah kolonialisme menjadi barang yang harus di musnahkan. Demikian pula pada era yang di namakan Demokrasi Terpimpin, dimana buku-buku yang dianggap kontrarevolusioner atau menghalangi revolusi di atas kuasa Presiden Soekarno di larang. Selanjutnya justru yang paling banyak karya yang dikorbankan karena alasan stabilitas dan ketertiban bangsa yaitu pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Buku-buku yang di cap kiri di berangus atau dibakar sebagai tindakan sistematis yang bermula dari peristiwa bersejarah Gerakan 30 September yang menandakan berakhirnya era orde lama. Kebijakan pelarangan di era orde baru di legalkan dengan keputusan Kejaksaan Agung melalui Peraturan Presiden yang selanjutnya menjadi Undang-undang No 4 PNPS 1963.
Tidak berhenti, di era yang kita nyatakan era reformasi setelah tumbangnya rezim orde baru, pelarangan buku kembali terjadi. Banyak Buku-buku yang dilarang di era keterbukaan informasi dan yang terakhir seperti Membongkar Gurita Cikeas, Dibalik Skandal Bank Century (2009) atau Lima Kota Paling Bepengaruh Di dunia (2012) yang kemudian di cekal beberapa ormas dan pada akhirnya di bakar dan disaksikan langsung oleh Penerbit buku tersebut yaitu Gramedia.
Upaya menjelaskan periodesasi rezim pelarangan buku di Indonesia telah di terbitkan melalui 3 buku yaitu Menentang Peradaban: Pelarangan Buku di Indonesia (Tim Jaker, ELSAM, 1999), Mengubur Peradaban: Politik Pelarangan Buku di Indonesia (Fauzan, LKIS, 2002), dan Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi (Tim, PR2MEDIA, 2010). Ironinya ketiganya pun ikut dilarang. Meskipun dilarang buku ELSAM dan PT2MEDIA tetap menerbitkan cetakannya dan juga dapat didownload di internet secara Cuma-Cuma.
Pelarangan yang terjadi di Indonesia adalah sebuah kebijakan yang tidak semestinya terjadi lagi di era keterbukaan informasi saat ini. Sehingga masyarakat lebih dewasa menanggapi hal-hal yang dianggapnya kontreversial sebab telah di paparkan secara rinci oleh Baez maupun Robertus Rober bahwa penghancuran buku justru di lakukan oleh kaum terdidik atau intelektual. Sehingga bagi mereka yang merasa terdidik atau memiliki intelektual yang lebih seharusnya menyikapinya wacana-wacana yang dianggapnya kontroversi dengan bijak dengan arti “melawan” pula dengan wacana atau membuktikan kesalahan-kesalah wacana yang dilakukan oleh penulisnya. Namun bagaimanapun kehebatan seseorang sekiranya perlu menghargai buah pikiran seseorang. Toh, pembaca tidaklah pasti langsung terpengaruh dengan bacaan yang dianggap berbahaya, apalagi pembaca yang mengklaim terlarang adalah masyarakat intelektual.
Harapan dari Robetus Robet dalam paragraph terakhir pada pengantar buku ini dengan seirus mengatakan bahwa “suatu masyarakat demokratis yang sehat, terdidik-apalagi dengan embel-embel Pancasilais dan religious-mestinya bisa lebih santai dan percaya diri dalam menghadapi dan berdialog dengan setiap gagasan. Pada akhirnya makna kemerdekaan di Indonesia harus berlaku pada karya intelektual seperti buku dan juga perpustakaan.   
Penulis Irsan

Penghancuran Buku dari Masa ke Masa
Fernando Báez
Penerjemah: Lita Soerjadinata
Pengantar: Robertus Robet
ISBN 978-979-1260-24-4
373 + xx hlm.; 14 x 20,3 cm.