Jumat, 22 Maret 2013

Drama Sepakbola dan PSSI

Tribun Timur, 21 Maret 2013

Sepakbola memang memiliki daya tarik yang begitu luar biasa, sebab kita telah mengamati sendiri bahwa hampir separuh manusia Indonesia memiliki kegemaran bermain bola, menonton bola, dan menjadi supporter bola. Sepakbola telah merambah ke seluruh aspek kehidupan tanpa mengenal identitas baik kalangan feminim, muda sampai tua dan juga kadang dijadikan sebagai propaganda politik, budaya, agama, dan sebagainya. Berbagai macam peristiwa atau drama telah terjadi dalam dunia sepakbola, sehingga sepakbola bukan sekedar olahraga yang menjadi hobby atau profesi namun juga adalah pertarungan harga diri bangsa diatas pentas dunia.
Sepakbola bukan lagi menjadi olahraga para proletariat tapi juga menjadi olahraga para borjuis, dan dibalik itu sesungguhnya sepakbola telah menggambarkan peristiwa-peristiwa kepentingan tertentu masa lalu atau yang akan datang melalui agama, sosial, politik dan budaya. Sehingga sepakbola dari dulu tidak terlepas dari sebuah kepentingan, bahkan kalangan elitis telah memanfaatkan momen ini untuk meraup keuntungan melalui publikasi, sponsor, dan sebagainya. Hal tersebut seakan menandakan bahwa sepakbola hari ini telah menjadi salah satu produk globalisasi. Maka kita jangan heran jika sepakbola telah menjadi kehidupan yang elitis, lihatlah interaksi yang dilakukan oleh para supporter, pemilik klub, pemain, dengan pernak-pernik kemewahan nan olek.
Lain lagi pada hari ini, sepakbola dimanfaatkan oleh segelintir orang menjadi lahan bisnis dan komersialisasi, mulai dari penjualan sepatu, asesoris, dan jersey klub-klub top dunia, tidak hanya laki-laki yang meminati bahkan perempuan saat ini pun dilanda demam jersey sepakbola. Hampir setiap hari tayangan atau cuplikan pertandingan sepakbola menjadi berita yang ditunggu-tunggu oleh penggemar bola. Di café atau warung kopi telah marak perkumpulan supporter tim top dunia yang begitu fanatik dengan beragam asesoris sambil menunda tidur hanya demi menunggu tim kesayangannya bertanding dengan semangat dan euphoria .
Semua aktivitas tersebut merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh digubris, dan terlepas dari semua gambaran sepakbola yang terjadi saat ini, yang menarik ditanah air ialah sampai kapan kita melihat timnas Indonesia tidak berdaya menghadapi lawan-lawannya. Apakah kita ingin menjadi penonton abadi dan pendukung Negara lain ?
Negara Indonesia memiliki sumber daya manusia terbesar ketiga didunia. Sehingga kadang kita bertanya, mengapa sekian banyaknya penduduk Indonesia, PSSI tidak bisa memilih manusia dan membentuk kesebelasan yang kuat atau mampu bersaing dengan Negara-negara hebat dalam sepakbola dunia. Apa yang kurang dari tim sepakbola kita ? Pembinaan usia muda berjalan dan banyak, bahkan pemain-pemain muda dibawah umur sekitar 17 tahun telah menorehkan prestasi tingkat dunia, tetapi mengapa setelah mereka melewati usia itu mereka tidak mampu melanjutkan prestasi yang mereka raih pada saat itu. Bahkan ada yang dikirim khusus untuk menimba ilmu dan pengalaman keluar negeri untuk mengasah skill atau kemampuannya. Berbicara tentang fisik pun pemain Indonesia banyak juga yang tinggi dan stamninanya kuat serta skill yang lumayan hebat. Jadi mengapa timnas Indonesia belum mampu berprestasi ?
Berbagai upaya yang telah dilakukan sampai pada proses naturalisasi pemain keturunan Indonesia, namum sampai sejauh ini belum memberikan perubahan yang berarti. Untuk ditingkat asia tenggara kita selalu dihalangi oleh Thailand atau Malaysia di putaran final, apalagi ditingkat Asia timnas Indonesia pulang lebih awal di fase penyisihan. Belum lagi supporter yang sering bentrok, pemain yang saling tinju atau wasit yang di pukul dan gaji pemain dan pelatih yang tertunda serta pemain yang mogok bertanding atau berlatih. Meskipun sebenarnya timnas negara lain yang hebat sekalipun juga sering ada yang melakukan tindakan seperti itu namun di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda perubahan yang baik. Ditambah lagi dengan kasus meninggalnya pemain asing yang dikarenakan tidak mampu membiayai perobatan dirumah sakit sebab gajinya belum dibayar oleh klubnya. Mereka layaknya “TKI” yang bekerja di negeri kita demi kelangsungan hidupnya dan keluarganya.  Selain itu, sepakbola Indonesia telah dirasuki  kepentingan politik, ini dibuktikan terjadinya dualisme penyelenggara liga Indonesia.
Kongres luar biasa PSSI yang dilaksanakan kemarin (17/3/2013) di Hotel Borobudur Jakarta akhirnya dapat menyatukan kembali dualisme yang terjadi dalam tubuh persepakbolaan tanah air selama ini. Proses penyatuan tersebut tentu sangat menguras tenaga dan pikiran, apalagi bukan hanya sekali dilakukan inisiatif tersebut namun telah berkali-kali. Bahkan berkali-kali pula PSSI mendapat teguran dari FIFA untuk menyelesaikan persoalan dualisme tersebut. Dengan berakhirnya dualisme tersebut, tentu kabar ini merupakan angin segar buat kita semua, baik pemain maupun pecinta bola dan masyarakat Indonesia. Meskipun sempat terjadi kericuhan diluar arena kongres namun tidak menghalangi PSSI untuk melanjutkan agenda Kongres PSSI.
Dengan berakhirnya dualisme, maka KPSI juga dibubarkan dan liga Indonesia ISL dan IPL kemudian disatukan tahun depan dengan mengambil 18 tim dari ISL dan 4 tim dari IPL. Tentu 18 tim dari ISL adalah yang menempati posisi 1 sampai 18 klasmen akhir dan begitu pula IPL dengan 4 tim urutan 1 sampai 4 pada klasmen akhir liga tersebut.
Berita gembira tersebut, belum bisa dijadikan sebagai dasar untuk mengatakan PSSI telah aman dari segala kepentingan tertentu dan keluar dari ancaman sanksi dari FIFA sebagai federasi sepakbola dunia, sebab kita ketahui bahwa proses terjadinya dualisme tentu terdapat permainan politik oleh sebagian oknum yang menjadikan sepakbola sebagai arena politik.  Sangat disayangkan jika pada kenyataan nantinya yang menduduki jabatan strategis di tubuh PSSI belum mampu menghilangkan kepentingan politik tertentu. Terlepas dari kekhawatiran itu, tentu kita berharap setelah kongres, PSSI dapat memulai dari awal dengan agenda yang matang sesuai apa yang telah dipaparkan oleh anggota PSSI yang disetujui peserta kongres kemarin. Sehingga perlahan  tapi pasti, sepakbola Indonesia bisa berkembang dan menunjukkan kemampuan yang terbaik di pentas dunia.
Sepertinya kita perlu menunggu drama apa lagi yang akan terjadi di dunia ini lewat sepakbola sambil menanti sepakbola Indonesia bisa berjaya.
Penulis (Irsan) adalah Mahasiswa Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar


Penulis (Irsan) adalah Mahasiswa Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar