Minggu, 10 Maret 2013

Isu Kekuasaan Politik Dinasti

Menjelang pemilukada di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan yang menarik untuk kita amati adalah sosok para bakal calon kepala daerah yang di ikuti oleh keluarga bupati atau walikota yang sementara menjabat di daerahnya masing-masing. Hal ini terjadi beberapa bulan yang lalu di dua kabupaten diantaranya Takalar dan Bone. Berikutnya, juga akan berlangsung di kabupaten Jeneponto dan Sinjai, dan beberapa daerah lainnya.  Ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana dan seberapa besar pengaruh identitas garis keluarga dalam menopang keikutsertaan sosok bakal calon kepala daerah untuk menjadi kepala daerah.
Sebelum melangkah menemukan seberapa besar pengaruh identitas garis keluarga, perlu di pahami terlebih dahulu bahwa kekuasaan dalam sebuah lembaga atau pemerintahan tercapai melalui pengakuan yang sah secara penuh dari rakyat. Mungkikah, kekuasaan dapat tercapai melalui kekuatan keluarga, agama, fisik atau mitos. Munculnya kesadaran demokrasi masyarakat saat ini telah menggeser pemikiran irasional, sehingga membuat masyarakat perlu memilih pemimpin yang pro kepada rakyat. Janji-janji yang terucap dari mulut secara langsung dan melalui baligho atau media lainnya merupakan kekuatan dari setiap calon pemimpin. Pilihan masyarakat pada seorang sosok pemimpin adalah keputusan politik yang diharapkan muncul melalui pemikiran kritis dan objektif. 
Maraknya calon kepala daerah yang berasal dari kerabat petahana sering memunculkan indikasi dari sebagian masyarakat bahwa betapa kuatnya pengaruh politik dinasti yang terjadi. Namun, Tidak bisa di pungkiri bahwa hak setiap individu untuk maju sebagai calon kepala daerah adalah hak asasi manusia yang tidak bisa dibatasi. Menguatnya isu pembatasan keluarga petahana untuk maju keperiode jabatan selajutnya saat ini gencar dibicarakan DPR melalui RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Salah satu aturannya menyebutkan setiap calon kepala daerah tidak boleh mencalonkan diri bila masih merupakan garis kekerabatan atau keluarga, baik garis keturunan atas, kebawah, dan kesamping kecuali jika telah berselang satu periode. Hal ini tentu masih memunculkan banyak pertanyaan, tentunya ada yang pro dan kontra.
Terlepas dari semua itu, kita tidak boleh memunculkan klaim atas penafsiran yang belum nyata adanya. Sebab boleh jadi apa yang menjadi keinginan dari setiap bakal calon kepala daerah untuk maju itu dilandasi oleh niat dan hati nurani untuk membangun dan bukan untuk kepentingan dinasti atau kepentingan tertentu. Maka untuk meyakinkan kepada rakyat bahwa ketakutan munculnya politik dinasti yang sering berpotensi melahirkan nepotisme dan tarikan garis keturunan pada posisi jabatan strategis pemerintahan setidaknya bisa hilang melalui keinginan yang kuat untuk memperjuangkan rakyat dan sekali lagi itu dibuktikan dengan legalitas etis.  Legalitas etis merupakan peletak dasar bagi siapapun untuk menjadi calon pemimpin sebagai ukuran atau nilai dalam menjalankan legalitas politik yang telah disampaikan melalui janji-janji politik diberbagai media publikasinya.
Dalam imajinasi Foucalt mengungkapkan bahwa kekuasaan juga beraksi melalui unsur-unsur terkecil, misalnya keluarga, hubungan permukiman, perkampungan dan sebagainya. Selama kita berada dan masuk dalam jaringan kehidupan sosial kita akan selalu menemukan kekuasaan sebagai sesuatu yang mengalir, yang beraksi, yang menimbulkan efek-efek. Walaupun memang sering kita mendengar bahwa beberapa daerah masih dipenuhi politik dinasti, akan tetapi dengan kesadaran demokratis yang mulai muncul dalam masyarakat akan menepis segala hal yang muncul diluar dari kesadaran demokratis. Maka berbicara tentang seberapa besar pengaruh identitas garis keturunan itu lebih ditentukan oleh moralitas dan niat bekerja yang besar untuk kepentingan publik. Sehingga kita tidak seharusnya memandang calon kepala daerah yang berasal dari keluarga petahana dengan gusar dan ragu-ragu, namun dengan catatan seperti yang telah dijelaskan diatas. Dewasa ini masyarakat sudah jeli melihat kinerja kepala daerah, sehingga tentu masyarakat memiliki penilaian sendiri pada masa pemerintahannya. Pada akhirnya, baik atau buruknya kinerja kepala daerah tidak selamanya mempengaruhi calon kepala daerah yang berasal dari keluarganya.
Lebih lanjut Foucalt menyatakan bahwa “dimana ada kekuasaan, disitu ada perlawanan”. Jika begitu, berarti di setiap kekuasaan yang dimiliki akan memunculkan perlawanan. ini berarti adanya sikap yang tidak baik dan tentunya muncul tafsiran akan adanya tindakan yang tidak terpuji. Apa yang ingin dikemukakan ialah bahwa pada pemerintahan yang dijalankan oleh kepala daerah selalu berpotensi memunculkan perlawanan dari unsur tertentu karena kemungkinan disebabkan adanya ketimpangan akan pemenuhan janji-janji politik atau lawan politiknya, dan mungkin juga melalui perlawanan isu politik dinasti. Namun pada akhirnya siapapun yang punya kekuasaan kita berharap seperti apa yang diuraikan oleh Abraham Lincoln pengertian “kekuasaan rakyat” yaitu from the people, by the people, and for the people. For the People adalah amanah yang tidak boleh dilupakan bukan hanya melalui kata tapi yang terpenting melalui kinerja.       

Irsan adalah Mantan Ketua BEM Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar