Menjelang pemilukada di beberapa
kabupaten di Sulawesi Selatan yang menarik untuk kita amati adalah sosok para
bakal calon kepala daerah yang di ikuti oleh keluarga bupati atau walikota yang
sementara menjabat di daerahnya masing-masing. Hal ini terjadi beberapa bulan
yang lalu di dua kabupaten diantaranya Takalar dan Bone. Berikutnya, juga akan
berlangsung di kabupaten Jeneponto dan Sinjai, dan beberapa daerah lainnya. Ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana
dan seberapa besar pengaruh identitas garis keluarga dalam menopang
keikutsertaan sosok bakal calon kepala daerah untuk menjadi kepala daerah.
Sebelum melangkah menemukan seberapa
besar pengaruh identitas garis keluarga, perlu di pahami terlebih dahulu bahwa
kekuasaan dalam sebuah lembaga atau pemerintahan tercapai melalui pengakuan
yang sah secara penuh dari rakyat. Mungkikah, kekuasaan dapat tercapai melalui kekuatan
keluarga, agama, fisik atau mitos. Munculnya kesadaran demokrasi masyarakat
saat ini telah menggeser pemikiran irasional, sehingga membuat masyarakat perlu
memilih pemimpin yang pro kepada rakyat. Janji-janji yang terucap dari mulut
secara langsung dan melalui baligho atau media lainnya merupakan kekuatan dari
setiap calon pemimpin. Pilihan masyarakat pada seorang sosok pemimpin adalah
keputusan politik yang diharapkan muncul melalui pemikiran kritis dan objektif.
Maraknya calon kepala daerah yang
berasal dari kerabat petahana sering memunculkan indikasi dari sebagian
masyarakat bahwa betapa kuatnya pengaruh politik dinasti yang terjadi. Namun, Tidak
bisa di pungkiri bahwa hak setiap individu untuk maju sebagai calon kepala
daerah adalah hak asasi manusia yang tidak bisa dibatasi. Menguatnya isu
pembatasan keluarga petahana untuk maju keperiode jabatan selajutnya saat ini
gencar dibicarakan DPR melalui RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Salah satu aturannya menyebutkan setiap calon kepala daerah tidak boleh
mencalonkan diri bila masih merupakan garis kekerabatan atau keluarga, baik
garis keturunan atas, kebawah, dan kesamping kecuali jika telah berselang satu
periode. Hal ini tentu masih memunculkan banyak pertanyaan, tentunya ada yang
pro dan kontra.
Terlepas dari semua itu, kita tidak
boleh memunculkan klaim atas penafsiran yang belum nyata adanya. Sebab boleh
jadi apa yang menjadi keinginan dari setiap bakal calon kepala daerah untuk
maju itu dilandasi oleh niat dan hati nurani untuk membangun dan bukan untuk
kepentingan dinasti atau kepentingan tertentu. Maka untuk meyakinkan kepada
rakyat bahwa ketakutan munculnya politik dinasti yang sering berpotensi
melahirkan nepotisme dan tarikan garis keturunan pada posisi jabatan strategis
pemerintahan setidaknya bisa hilang melalui keinginan yang kuat untuk
memperjuangkan rakyat dan sekali lagi itu dibuktikan dengan legalitas etis. Legalitas etis merupakan peletak dasar bagi
siapapun untuk menjadi calon pemimpin sebagai ukuran atau nilai dalam
menjalankan legalitas politik yang telah disampaikan melalui janji-janji
politik diberbagai media publikasinya.
Dalam imajinasi Foucalt mengungkapkan
bahwa kekuasaan juga beraksi melalui unsur-unsur terkecil, misalnya keluarga,
hubungan permukiman, perkampungan dan sebagainya. Selama kita berada dan masuk
dalam jaringan kehidupan sosial kita akan selalu menemukan kekuasaan sebagai
sesuatu yang mengalir, yang beraksi, yang menimbulkan efek-efek. Walaupun
memang sering kita mendengar bahwa beberapa daerah masih dipenuhi politik
dinasti, akan tetapi dengan kesadaran demokratis yang mulai muncul dalam
masyarakat akan menepis segala hal yang muncul diluar dari kesadaran
demokratis. Maka berbicara tentang seberapa besar pengaruh identitas garis
keturunan itu lebih ditentukan oleh moralitas dan niat bekerja yang besar untuk
kepentingan publik. Sehingga kita tidak seharusnya memandang calon kepala
daerah yang berasal dari keluarga petahana dengan gusar dan ragu-ragu, namun
dengan catatan seperti yang telah dijelaskan diatas. Dewasa ini masyarakat sudah
jeli melihat kinerja kepala daerah, sehingga tentu masyarakat memiliki
penilaian sendiri pada masa pemerintahannya. Pada akhirnya, baik atau buruknya
kinerja kepala daerah tidak selamanya mempengaruhi calon kepala daerah yang
berasal dari keluarganya.
Lebih lanjut Foucalt menyatakan bahwa
“dimana ada kekuasaan, disitu ada perlawanan”. Jika begitu, berarti di setiap
kekuasaan yang dimiliki akan memunculkan perlawanan. ini berarti adanya sikap
yang tidak baik dan tentunya muncul tafsiran akan adanya tindakan yang tidak
terpuji. Apa yang ingin dikemukakan ialah bahwa pada pemerintahan yang
dijalankan oleh kepala daerah selalu berpotensi memunculkan perlawanan dari unsur
tertentu karena kemungkinan disebabkan adanya ketimpangan akan pemenuhan
janji-janji politik atau lawan politiknya, dan mungkin juga melalui perlawanan isu
politik dinasti. Namun pada akhirnya siapapun yang punya kekuasaan kita
berharap seperti apa yang diuraikan oleh Abraham Lincoln pengertian “kekuasaan
rakyat” yaitu from the people, by the people, and for the people. For
the People adalah amanah yang tidak boleh dilupakan bukan hanya melalui
kata tapi yang terpenting melalui kinerja.
Irsan adalah Mantan Ketua BEM Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Alauddin Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar