Jauh sebelum Indonesia meraih kemerdekaan, buku telah menjadi sebuah
bacaan yang menginspirasikan perjalanan para tokoh-tokoh nasional dibangsa ini
dalam mewujudkan kemerdekaan, seperti halnya Soekarno dan Moh Hatta. Mereka
adalah orang-orang yang nampak berbeda daripada yang lain karena ketekunannya
dalam mempelajari wacana-wacana pada buku yang dibacanya. Terlepas dari wacana
berbagai aliran, muatan buku memang memungkinkan manusia terpengaruh dalam
menjalani kehidupannya menuju kedewasaan berpikir maupun perilaku seseorang.
Buku telah menjadi media yang mampu menghegemoni para pembacanya.
Namun dalam sejarah Indonesia, buku juga pernah menjadi sesuatu yang dianggap
berbahaya bagi sebuah rezim yang berkuasa. Di mulai dari era pemerintahan
kolonialisme Belanda, dimana buku yang dicap sebagai bacaan liar kemudian dibredel
oleh pemerintah kolonial melalui Commisie voor de Inlandsche School en
Volkslektuur atau komisi untuk bacaan sekolah pribumi dan bacaan rakyat.
Buku yang tidak sesuai dengan ideologi pemerintah kolonial dianggap liar
sehingga buku-buku pada saat itu diawasi dan diseleksi melalui Balai Pustaka.
Setelah Indonesia merdeka, pelarangan bukupun kembali muncul di era Soekarno,
dimana buku-buku yang dianggap menganggu pembangunan atau melanggar asas pancasila
dianggap terlarang. Namun puncaknya pada pemerintahan orde baru yang
memberangus semua buku-buku yang berhaluan “kiri” karena dianggap mengajarkan
paham komunisme, marxisme, dan leninisme. Setelah PKI dianggap mengkhianati
NKRI maka untuk membendung munculnya kembali komunisme maka dilakukanlah
pelarangan buku-buku kiri oleh rezim orde baru melalui kejaksaan agung. Tak
hanya buku yang dibakar tapi juga penulisnya dimasukkan dalam bui, nasib tragis
itu yang paling dirasakan oleh sastrawan yang melegenda Pramudya Ananta Toer.
Setelah rezim orde baru runtuh dengan memasuki era reformasi, maka
kebebasan berekspresi di Indonesia ditandai dengan banyaknya penerbit-penerbit
alternatife yang muncul dalam menerbitkan buku. Tidak hanya itu, buku-buku yang
dilarang pada masa kekuasaan pemerintahan Soeharto menjadi bestseller pada
saat reformasi, terutama buku-buku Pramudya Ananta Toer yang paling banyak
dicari. Namun, kebebasan mengeluarkan pendapat kembali dipersoalkan dengan
dilaranganya buku-buku yang dianggap mengancam stabilitas Negara dan menganggu
ketertiban umum atau memiliki sensitif unsur politik dan SARA seperti buku
“Gurita Cikeas”. Belum lama ini, 13 Juni 2012 tahun lalu pembakaran buku “5
Kota Paling Berpengaruh di Dunia” kembali terulang dengan anggapan
memuat muatan yang menyesatkan. Melalui anjuran MUI dan desakan FPI, Gramedia
pun kemudian memutuskan untuk membakar buku tersebut. Ini tentu merupakan tindakan yang menentang kebebasan berpendapat
dan jelas melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi yang telah mencabut PNPS No.
4 Tahun 1963 pada tanggal 14 Oktober 2010. Robertus Robet menyatakan bahwa kasus
pelarangan buku di istilahkan librisida atau ‘pembunuhan terhadap buku’. Librisida
tidak hanya pernah terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di Negara lain seperti
Taliban di Afganistan dan Jerman dibawah kekuasaan rezim Nazi Hitler.
Akankah peristiwa itu tejadi lagi ? Bagi sebagian orang yang
merasakan wacananya dilarang atau dianggap berbahaya oleh pemerintahan rezim
SBY saat ini, tentu mengharapkan kisah pelarangan buku tersebut tidak terjadi
lagi sehingga buku mereka yang “kritis” mendapatkan tempat di hati pembaca.
Jikapun memang dianggap kontroversi setidaknya “dilawan” dengan wacana pula
melalui buku. Namun saat ini juga agak susah sebab buku-buku yang memiliki
wacana kritis sangat sedikit peminatnya hanya pada akademisi atau kaum intelektual.
Kurangnya peminat buku seperti itu dipengaruhi oleh cara berpikir sebagian
masyarakat yang praktis dan pragmatis. Disisi lain, penerbit banyak yang
berorientasi pada profit (menyesuaikan pangsa pasar) ketimbang memilih gagasan
yang kurang diminati dan kadangkala takut menerbitkan buku yang isinya
kontroversial.
Selain itu
pula, perkembangan teknologi informasi telah memanjakan masyarakat sehingga
bagi sebagian orang yang ingin mendapatkan informasi melalui dunia maya lebih
praktis dan cepat. Fenomena ini membuat masyarakat cenderung memilih bacaan
melalui internet (electronic book) dibandingkan membuka buku dengan
lembaran-lembaran kertasnya. Meskipun demikian tidak berarti bahwa buku akan di
tinggalkan, sebab masyarakat belum semuanya memiliki teknologi informasi, namun
yang menyulitkan masyarakat ialah mahalnya harga buku di pasaran. Sehingga
orang yang memiliki banyak koleksi buku hanya menjadi sebuah “pembeda” dengan
orang yang lain. Padahal buku yang sifat “kritis”, orang lebih cenderung untuk
memiliki/membeli dari pada membaca sedikit-sedikit.
Sejarah kelam
dan kondisi perbukuan sekarang merupakan kondisi yang perlu untuk dipikirkan
oleh pemerintah. Selain itu, buku harus menjadi bacaan untuk semua kalangan dan
bukan hanya pada sebagian orang. Sehingga buku dapat mengjangkau orang-orang
terpinggirkan, kurang mampu, dan dipelosok pelosok tanah air. Sekiranya buku
itu mudah dijangkau dengan biaya yang murah mungkin masyarakat tidak menjadikan
buku sebagai bacaan untuk kalangan tertentu. Selain itu pula, pemerintah perlu
mempebanyak dan memperhatikan perpustakaan/taman bacaan sebagai tempat membaca
buku yang gratis tanpa membedakan golongan manusia.
Pada akhirnya
momentum peringatan hari buku sedunia ini perlu kita renungkan dan kita jadikan
sebagai spirit untuk terus berkarya dalam menerbitkan buku dan berharap
tidak tejadi lagi pelarangan buku di Indonesia kedepannya. Tidak sekedar
merayakannya, namun yang terpenting adalah bagaimana buku dijadikan sebagai
sebuah alat untuk membangun sumber daya manusia yang cerdas, sehingga
pembangunan bangsa juga bisa terwujudkan. Kita juga mengharapkan bahwa melalui
buku akan terlahir tokoh-tokoh nasional yang inspiratif yang bisa dibanggakan
kelak.
Irsan (Penulis)
adalah mahasiswa Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin
Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar