Pelarangan buku-buku kiri yang paling
menyita perhatian adalah pada masa orde baru dalam sejarah pemerintahan
Indonesia, sejarah mencatat bahwa era orde barulah yang paling banyak melarang
buku-buku kiri. Dimulai setelah peristiwa Gerakan 30 September, dimana tiga
bulan setelah peritiwa tersebut terjadi, Pembantu Menteri Pendidikan Dasar dan
Kebudayaan Bidang Teknis Pendidikan, Drs. K. Setiadi Kartohadikusumo, menyatakan
70 judul buku dianggap terlarang, pada saat itu tepat pada 30 November 1965. Praktis
dengan adanya pelarangan tersebut, selanjutnya semua karya 87 penulis yang
dituduh beraliran kiri juga ikut dilarang.[1]
Agak aneh karena pelarangan buku dilakukan
bukan karena isinya yang mengandung informasi yang dinilai tak layak untuk
dibaca akan tetapi karena alasan yang politis yang memojokkan penulis, editor,
dan penerbit. Bukan hanya itu, keputusan dimusnahkannya karya 21 penulis di
ruang Perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sangat memprihatinkan.
Tidak diketahui berapa secara pasti buku yang dianggap terlarang namun
diperkirakan sekitar 500 judul buku yang dicap terlarang dimasa itu.[2]
Istilah
buku-buku kiri merupakan istilah umum yang digunakan untuk menyebut buku-buku
yang memuat atau membahas pemikiran yang termasuk dalam spektrum ideologi
Marxisme dan atau Sosialisme, mulai dari kutub ortodoks hingga populis kiri.
Bila ditelusur sejarahnya, istilah pertama yang digunakan untuk menyebut
buku-buku tersebut ialah literatuur
socialistisch. Buku-buku tersebut, pada era kolonialisme Belanda, diberi
label sebagai bacaan liar.[3]
Pada Kongres IV tahun 1924 di Batavia, PKI
mendirikan Kommisi Batjaan Hoofdebestuur PKI. Bentukan ini berhasil
menerbitkan dan menyebarluaskan tulisan-tulisan literatuur socialistisch, orang
yang pertama kali memperkenalkan istilah tersebut ialah Semaoen yang
juga menjelaskan istilah tersebut sebagai sebuah ilmu yang mengajarkan tentang
pergaulan hidup tanpa memeras satu sama lain.[4]
Di masa Orde Baru, pelarangan buku mengambil bentuk yang sistematis
akibat tersedianya
argumen ideologis dan keperluan mempertahankan sebuah versi “kebenaran”
politis. Orde Baru dan kekuasaan Soeharto berdiri di atas sebuah misteri
tragedi pembunuhan massal terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota dan
simpatisan PKI. Kenyataan ini menjadi landasan bagi kebijakan pelarangan
terhadap hampir seluruh buku-buku dari mereka yang diasosiakan kiri.[5]
Robertus Robet menggunakan istilah untuk ‘pembunuhan terhadap buku’ yaitu librisida. Istilah librisida diterjemahkan Robertus Robet dari konsep Libricide yang
bersumber dari Rebbeca Knuth. Di dalam Knuth, librisida menunjukkan adanya
suatu praktik yang sistematis dari suatu rezim terhadap buku yang dilakukan
dengan maksud pencapaian suatu tujuan-tujuan ideologi jangka pendek maupun
jangka panjang.
Librisida
juga mengindikasikan adanya kelompok di dalam masyarakat yang
hendak mendominasi negara dan memiliki gagasan ekstrim mengenai masyarakat. [6]
Insiden pelarangan dan pemusnahan terhadap buku-buku kiri yang dilakukan oleh rezim orde baru menandakan adanya dugaan sendiri dari penulis, seperti apa yang ditelah
digambarkan oleh Robertus Robet diatas, bahwa “pembunuhan terhadap buku”
terdapat alasan politis yang hendak mendominasi kekuasaan dan menolak gagasan
kiri karena dianggap sebagai pemikiran yang membahayakan masyarakat.
Buku-Buku Kiri pada rezim orde baru dianggap sebagai penganggu atau
ancaman stabilitas nasional karena mengajarkan ajaran Marxisme, Sosialisme, Komunisme
yang ketiga wacana tersebut sangat dilarang dan dijadikan sebagai sesuatu yang
haram untuk diikuti. Lahirnya ketiga ajaran tersebut tidak lepas dari Filsuf
asal Jerman yang sangat dikenal yaitu Karl Marx yang kemudian pemikirannya
menjadi sebuah ideologi yang diistilahkan Marxisme. Selama masa rezim Orde Baru
wacana tentang kiri (atau kekiri-kirian) di stigmakan sebagai sebuah ideologi
yang menakutkan sehingga terjadi tekanan politik yang dialami oleh para
pemikir-pemikir kiri.
Sehingga bisa diperkirakan sangat jarang
ditemukan buku-buku kiri pada saat itu, apalagi perjualbelikan secara bebas.
Penulis pun menduga bahwa adanya pelarangan peredaran buku-buku kiri pada era
orde baru, tentu perpustakaan sebagai tempat menyimpan, mengoleksi dan melayani
buku juga dilarang oleh rezim orde baru dalam memfasilitasi buku-buku kiri
kepada pemustaka pada saat itu.
Di perpustakaan perguruan tinggi sendiri,
penulis juga menduga terjadi pembatasan
koleksi, dimana perpustakaan perguruan tinggi merupakan instansi pemerintahan yang
juga mengikuti aturan pemerintah dalam melarang buku-buku tertentu melalui penerapan UU 4/PNPS/1963
tentang Pengamanan Barang Yang Dapat Mengganggu Ketertiban
Umum. Analisa penulis dikuatkan oleh Sulistyo
Basuki, bahwa pemilihan buku berarti juga proses menolak buku tertentu. Ada
beberapa alasan terjadinya penolakan atau tidak memilih buku untuk dijadikan
koleksi suatu perpustakaan, salah satunya ialah karena adanya pelarangan atas
suatu buku.[7] Sulistyo Basuki mencatat, secara umum ada lima sebab mengapa buku
dilarang beredar di Indonesia, yakni: 1) alasan politik; 2) alasan agama;
3) alasan ras; 4) alasan pornografi; dan
5) alasan penerbitan dalam aksara asing.
Fokus penelitian ini, peneliti lebih merujuk pada alasan pertama, yaitu alasan
politik dalam melarang buku-buku kiri.[8]
Wahyu Winarmo salah seorang staf redaksi yang bergelut
di penerbitan buku kiri yang masih tetap eksis sampai saat ini yaitu Resist
Book, dia mengungkapkan bahwa kalau orang memahami kiri itu komunis mungkin
akan sedikit yang mau membaca, tapi kiri itu kita pahami sebagai bagian dari
gerakan sosial “melawan arus yang selama ini yang dominan”.[9]
Salah seorang penulis kiri yang aktif menulis tentang wacana kiri saat ini
yaitu Eko Prasetyo yang dalam 10 tahun terakhir ada 30 judul buku yang
ditulisnya dan hampir semuanya diterbitkan di Resist Book. Dia mengungkapkan
bahwa ideologi kiri tidak akan mati dimakan zaman. Diakui bahwa di era 1990-an
gagasan tentang gerakan kiri punya andil dalam membawa Indonesia ke era reformasi.
Saat itu gerakan mahasiswa yang menumbangkan era orde baru banyak di ilhami
wacana kiri, salah satunya melalui buku-buku kiri yang beredar di
Indonesia.
[1] Iwan Awaluddin dkk,
Pelarangan Buku Di Indonesia : Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi, (Yogyakarta :
PR2Media bekerja sama FES, 2010) h.4
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap
Buku-Buku Kiri: Studi Kasus Buku-Buku Produk
Penerbit Resist Book, (Yogyakarta : Skripsi
Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, 2008 Hlm 16
[4] Razif, “Bacaan Liar” Budaya Dan Politik Pada
Zaman Pergerakan, Edi Cahyono’s Experience (http://
www.geocities.com/edicahy).2005. Hlm 2
[5] Robertus Robet, Librisida
: Pemurnian Masyarakat dan Demokrasi yang Cacat, Disampaikan
sebagai draft untuk materi Kuliah Umum mengenai ‘Pelarangan Buku dalam Politik Kebudayaan Indonesia’, Kerjasama
Elsam dan Dewan Kesenian Jakarta, Rabu, 17 Maret 2010.
[6] Rebecca
Knuth,(2003), Libricide : The
Regime-sponsored Destruction of Books and Libraries in the Twentieth. Westport,
Connecticut, London: Preager. Hlm. viii.
[9]Rizaloni, Rio. “Buku Kiri di Persimpangan Jalan”, Tempo
TV Assiacallingjkt, 9 Desember 2012. http://www.youtube.com/watch?v=HDrLWcM6zLk (5 Januari 2013)